SIAPAKAH DELAPAN GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT.....?
Imam Ibnu
Katsir mengatakan, bahwa ia akan menyebutkan hadits –hadits yang bertalian
dengan masing-masing dari delapan kelompok kita:
Kelompok
pertama :
Orang-orang fakir
Dari
Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat
tidak halal bagi orang yang kaya dan tidak (pula) bagi orang yang sehat dan
kuat,” (Shahih : Shahihul Jami’ no: 7251, Tirmidzi II: 81 no: 647, ‘Aunul
Ma’bud V:42 no:1618, dan Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah I:589
no: 1839 dan Nasa’i V:39).
Dari
Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar r.a. bahwa ada dua orang sahabat mengabarkan
kepadanya bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi saw. meminta zakat
kepadanya, maka Rasulullah memperhatikan mereka berdua dengan seksama dan
Rasulullah mendapatkan mereka sebagai orang-orang yang gagah. Kemudian
Rasulullah bersabda, “Jika kamu berdua mau, akan saya beri, tetapi
(sesungguhnya) orang yang kaya dan orang yang kuat berusaha tidak mempunyai
bagian untuk menerima zakat,” (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1438, ‘Aunul Ma’bud
V: 41 serta Nasa’i V:99).
Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) : “ Dari kutipan hadits
di atas, yang dimaksud orang-oramg fakir adalah oarang-orang yang tidak
mempunyai persediaan makakan dan tidak mempunyai pekerjaan yang mencukupi
kebutuhan merereka setiap harinya (orang yang tiada harta
pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga
untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tingga )“.
Kelompok
kedua :
Orang-Orang Miskin
Dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang miskin itu
bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap
makanan dan satu biji kurma,” (Kemudian) para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Jawab Beliau,“Salah
mereka yang yang hidupnya tidak berkecukupan dan dia tidak punya kepandaian
untuk itu, lalu diberi shadaqah, dan mereka tidak mau minta-minta kepada orang
lain.” (Muttafaqun ‘alaih:Muslim II : 719 no:1039 dan lafadz baginya,
Fathul Bari III : 341 no: 1479, Nasa’i V:85 dan Abu Daud V:39 no: 1615).
Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) : “ Dari kutipan hadits
ini, yang dimaksud Masakin adalah orang-orang yang mempunyai sedikit persediaan
dan juga mempunyai pekerjaan, namun itu semua tidak
mencukupi sepenuhnya untuk kebutuhannya (mempunyai
kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak
mencukupi sepenuhnya) “.
Kelompok
ketiga: Para Amil
Zakat
Ditegaskan oleh
hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain :
Dari Abdul
Mutthalib bin Rabi’ah al Harits bahwa ia pernah berangkat di Fadhl bin al Abbas
r.a. menghadap Rasulullah saw. lalu memohon kepada beliau agar mereka diangkat
sebagai penarik dan pengumpul zakat. Maka (kepada mereka). Beliau
bersabda, “Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi keluarga Muhammad
dan tidak (pula) bagi keluarga Muhammad; karena zakat itu adalah kotoran (untuk
mensucikan diri) manusia.” (Shahih ; Shahihul Jami’ no:1664, Muslim II :
752 no:1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205.(Imam Nawawi berkata, “Ma’na AUSAKHUN
NAAS ialah zakat itu sebagai pembersih harta benda dan jiwa mereka,
sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala, “Pungutlah sebagian dari
harta benda mereka sebagai zakat yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa)
mereka.“ Jadi zakat adalah pembersih kotoran. Lihat Syarah Muslim VII:251).
Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) : “ Dari kutipan
tersebut, maka Para Amil Zakat adalah orang-orang yang bertugas menarik dan
mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat, namun mereka
tidak boleh berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram menerima
zakat “.
Kelompok
keempat :
Orang-orang Muallaf
Mu’allaf adalah sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk
agama Islam atau orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60
disebutkan bahwa para mu’allaf termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat.Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:
1.
Orang-orang yang dirayu untuk
memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap hati orang yang diharapkan akan
masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan
umat Islam.
2.
Orang-orang yang dirayu untuk
membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara
yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut bersedia
memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan
mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh
dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya,
membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta
zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
3.
Orang-orang yang baru masuk Islam
kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan
kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan
mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan
hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang
serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril maupun materiil.
Diriwayatkan
dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Sa’id bin
Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud riqab,
bentuk jama’ dari raqabah “budak belian” ialah hamba mukatab (hama yang telah
menyatakan perjanjian dengan tuannya bilamana sanggup menghasilkan harta dengan
nilai tertentu dia akan dimerdekakan, pent). Diriwayatkan juga pendapat yang
semisal dengan pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asy’ari, dan ini adalah
pendapat Imam Syafi’i dan al-Lain.
Ibnu Abbas
dan al-Hasan berkata, “Tidak mengapa memerdekakan budak belian dengan uang dari
zakat.” Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam
Ishaq. Yaitu bahwa kata riqab lebih menyeluruh ma’nanya daripada sekedar
memberi zakat kepada hamba mukatab, atau sekedar membeli budak lalu
dimerdekakan.
Ada banyak
hadits yang menerangkan besarnya pahala memerdekakan budak, dan Allah SWT untuk
setiap anggota badan budak tersebut memerdekakan satu anggota badan orang yang
memerdekakannya dari api neraka, sampai untuk kemaluan sang budak Allah
memerdekakan kemaluan orang yang memerdekakannya. Sebagaimana yang ditegaskan
dalam hadits berikut :
Dari Abu
Hurairah r.a. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
yang telah memerdekakan seorang budak mukmin, niscaya Allah dengan setiap
anggota badannya akan membebaskannya anggota badan (orang yang memerdekakannya)
dari api neraka, hingga orang itu memerdekakan (masalah) kemaluan dengan
kemaluan.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no:6051, Tirmidzi III:49 no:
1581).
Hal itu
tidak lain, karena balasan suatu amal perbuatan sejenis dengan amal yang
dilakukannya. Allah berfirman, “Dan kamu tidak diberi
pembalasan, melainkan apa yang telah kamu lakukan.” (QS.ash-Shaffat.39).
Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) : Riqab
berhak menerima zakat, bila dia mukatab (seseorang yang terbelenggu dan tiada
kebebasan diri) maka untuk membantu pembayaran yang harus ditunaikannya kepada
majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus dirinya dari
majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.
Apakah tawanan muslim termasuk riqab? Atau dengan kata lain, bisakah harta zakat dari pos riqab ini digunakan untuk membebaskan tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir?
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang membolehkan memberikan zakat dari pos riqab untuk membebaskan tawanan muslim karena:
1.
Membebaskan tawanan dari penawanan tidak berbeda dengan
memerdekakan hamba sahaya dari penghambaan.
2.
Harta yang
dibayarkan untuk membebaskan tawanan sama dengan harta yang dibayarkan untuk
gharim agar terbebas dari belitan hutang.
3.
Bahwa ayat hadir dengan kata riqab mencakup hamba sahaya,
mukatab dan tawanan.
Kelompok
keenam :
Orang-orang yang Berhutang
Mereka
terbagi menjadi beberapa bagian : Pertama, orang yang mempunyai
tanggungan atau dia menjamin suatu hutang lalu menjadi wajib baginya untuk
melunasinya kemudian meludeskan seluruh hartanya karena hutang tersebut; kedua,
orang yang bangkrut; ketiga, orang yang berhutang untuk menutupi
hutangnya; dan keempat, orang yang berlumuran maksiat, lalu
bertaubat. Maka mereka semua layak menerima bagian dari zakat.
Dasar yang
menjadikan pijakan untuk masalah ini ialah hadits dari Qubaishah bin Mukhariq
al-Hilali r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai tanggungan (untuk mendamaikan
dua pihak yang bersengketa), kemudian aku datang kepada Rasulullah saw.
menanyakan perihal beban tanggungan itu. Maka Beliau bersabda, “Tegakkanlah,
hingga datang zakat untuk kuberikan kepadamu!” Rasulullah saw. melanjutkan
sabdanya, “Ya Qubaishah sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali
bagi tiga golongan: (Pertama) orang-orang yang memikul beban untuk
mendamaikan dua pihak yang bersengketa, maka dihalalkan baginya meminta, sampai
berhasil mendapatkannya, sehingga berhenti memintanya. (Kedua), orang
yang tertimpa kebingungan yang sangat, karena rusaknya harta bendanya, maka
kepadanya dihalalkan meminta zakat, sehingga ia mendapatkan kekuatan untuk
menutupi kebutuhan hidupnya. (Ketiga), orang yang mendapatkan kesulitan
hidup hingga tiga orang dari pemuka kaumnya berdiri (lalu bertutur), bahwa
kesulitan hidup telah menimpa si fulan, maka baginya dihalalkan meminta hingga
mempunyai kekuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka tidak ada hak bagi
selain yang tiga kelompok itu untuk meminta wahai
Qubaishah!” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 568, Muslim II: 722
no:1044, ‘Aunul Ma’bud V:49 no: 1624, dan Nasa’i V:96).
Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) :
” Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah
orang-orang dalam golongan:
1.
Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa
dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
b. Utang itu melilit pelakunya.
c. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
e. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan.
a. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
b. Utang itu melilit pelakunya.
c. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
e. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan.
2.
Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang
berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya
diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini
berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
3.
Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain,
dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan
keuangan.
4.
Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena
pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu
membayar denda tersebut, begitu pula kas negara “.
Kelompok
ketujuh
: Fi Sabilillah
Menurut Imam
Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan Ishaq bahwa menunaikan ibadah haji termasuk fi
sabilillah. Menurut hemat penulis Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, tiga imam itu
mendasarkan pendapatnya pada hadits berikut :
Dari Ibnu
Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bermaksud hendak menunaikan ibadah
haji. Lalu ada seorang wanita berkata kepada suaminya (tolong) hajikanlah aku
bersama Rasulullah saw.” Maka jawabnya, “Aku tidak punya biaya untuk
menghajikanmu.“ Ia berkata (lagi) kepada suaminya, “(Tolong) hajikanlah diriku
dengan biaya dari menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu.” Maka
jawabnya, “Itu diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa Jalla.” Kemudian sang suami
datang menghadap Rasulullah saw. lalu bertutur, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya
isteriku menyampaikan salam kepadamu; dan ia meminta kepadaku agar ia bisa
menunaikan ibadah haji bersamamu. Ia mengatakan, kepadaku, “(Tolong) hajikanlah
aku dengan biaya dari hasil menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan
itu,’ Lalu saya jawab, “Itu diperuntukkan fi sabilillah,’ “Maka Rasulullah saw.
bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau menghajikannya dengan
biaya berasal dari hasil tersebut, berarti fi sabilillah juga).” (Hasan
Shahih : Shahih Abu Daud no : 1753, ‘Aunul Ma’bud V:465 no : 1974, Mustadrak
Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164).
Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) : “ Dari kutipan hadits
di atas, Fi Sabilillah dapat di maksudkan para mujahid sukarelawan yang tidak
memiliki bagian atau gaji yang tetap dari kas negara “.
Kelompok
kedelapan : Ibnu
Sabil
Adalah
seorang yang musafir melintas di suatu negeri tanpa membawa bekal yang cukup
untuk kepentingan perjalanannya, maka dia pantas mendapat alokasi dari bagian
zakat yang cukup hingga kembali ke negerinya sendiri, meskipun ia seorang yang
mempunyai harta.
Demikian
juga hukum yang diterapkan kepada orang yang mengadakan safar dari negerinya ke
negeri orang dan dia ia tidak membawa bekal sedikitpun, maka ia berhak diberi
bagian dari zakat yang sekiranya cukup untuk pulang dan pergi. Adapun dalilnya
ialah ayat enam puluh surah at-Taubah dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Daud dan Ibnu Majah.
Dari Ma’mar dari Yasid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yassar dari Abi Sa’id r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang yang kaya,
kecuali bagi lima (kelompok): (pertama) orang kaya yang menjadi amil zakat,
(kedua) orang kaya yang membeli barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga)
orang yang berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di jalan Allah,
(kelima) orang miskin yang mendapat bagian zakat, lalu
dihadiahkannya kembali kepada orang kaya,” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 7250, ‘Aunul Ma’bud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I: 590 no
:1841).Komentar Saya ( Moh. Ali Ridho ) : “ Ibnus Sabil adalah musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulangkan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan “.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar